Senin, 04 Juni 2012

Akhlak Ulama Salaf

suatu hari Al Imam Fakhrul wujud kedatangan tamu seorang wanita yang telah membuatkan makanan semalam penuh khusus untuk Al Imam, dan ketika wanita itu sampai di depan pintu rumah Al Imam, maka penjaga pintu berkata : “Ibu mau kemana?”, ibu itu menjawab : “aku mau menghadiahkan semangkuk bubur ini untuk sang imam”, maka penjaga itu berkata : “wahai ibu, lebih baik makanan ini dishadaqahkan saja kepada fuqara’ karena setiap harinya di dapur al imam selalu dipenuhi dengan sembelihan kambing dan puluhan kilo beras dimasak setiap harinya”, ada salah satu riwayat bahwa jumlah pembatu al imam mencapai seribu. maka ibu itu merasa kecewa namun menyadari apa yang telah dikatakan oleh penjaga itu, karena pastilah semangkuk bubur itu tidaklah ada artinya bagi al imam fakhrul wujud, kemudian ia pun pergi. Maka muncullah firasat pada Al Imam fakhrul wujud, dan disaat itu beliau duduk bersama tamu-tamunya kemudian keluar berlari untuk mengejar tamunya, padahal belum pernah Al Imam Fakhrul wujud berlari, seraya memanggil : “wahai ibu, wahai ibu, apa yang engkau bawa?” penjaga pintu itu kaget dan terheran karena baru pertama kali melihat al imam berlari. Maka ibu itu berkata : “wahai Al Imam aku hanya membawa semangkuk bubur ini yang kubuat semalaman hanya untuk imam, namun penjagamu mengatakan bahwa semangkuk bubur ini tidak berarti karena di dapur sang imam telah dipenuhi banyak makanan maka lebih baik bubur ini kusedekahkan kepada fakir miskin saja”, maka Al Imam fakhrul wujud berkata : “belum pernah ada hadiah yang lebih membuatku gembira selain hadiah darimu ini, jazakillah khairal jazaa”, kemudian al imam menerima makanan itu dengan gembira lalu beliau memberi ibu itu 1000 dinar. Kemudian Al Imam kembali kepada penjaganya dan berkata: “tahukah engkau bahwa ibu itu telah susah payah membuatkan makanan untukku walaupun sedikit??, maka seperti itulah keadaanku di hadapan Allah subhanahu wata’ala, yang mana aku telah beribadah semampuku namun tidak ada artinya di hadapan Allah, dan jika engkau usir ibu itu barangkali aku pun bisa terusir dari rahmat Allah subhanahu wata’ala”.

Kamis, 05 April 2012

FADHILAH SHOLAT JAMAAH


(Resume buku ‘Semua Karena Sang Nabi’ karya Sayyid Muhammad)
*artikel ini dibuat untuk mengingatkan penulis sendiri yang akhir-akhir ini lalai akan berjamaah
Allah SWT melimpahkan pahala lebih besar kepada orang yang mengamalkan shalat berjamaah, yaitu dua puluh tujuh kali lipat. Sebuah hadist shahih yang dituturkan oleh Abu Hurairah r.a dan Abdullah bin Umar r.a, bahwasanya Rasulullah saw. telah menyatakan:
“Shalat berjamaah lebih afdhal derajatnya dua puluh tujuh kali lipat daripada salat al-fadz (munfarid)”
Dalam shalat berjamaah Allah SWT akan memberikan ampunannya. Utsman bin Affan r.a menuturkan, bahwa ia mendengar sendiri Rasulullah saw. berkata:
“Barangsiapa yang berwudhu dan menyempurnakan wudhunya, lalu ia berjalan kaki ke mesjid untuk menunaikan shalat fardhu bersama imam, Allah mengampuni dosa-dosanya.” (H.R Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya)
Siapa yang menjaga baik-baik shalat berjamaah ia terlepas dan selamat dari neraka. Itu yang pertama. Sedangkan yang kedua, adalah selamat dari kemunafikan, dari sikap plintat-plintut terhadap aturan-aturan agama, dan mendapat kesucian hati terhadap Allah SWT serta keikhlasannya dalam menaati Allah SWT. Selain itu orang yang menjaga baik-baik shalat berjamaah itu dadanya akan dimasuki cahaya terang. Dengan demikian ia akan mudah membersihkan diri dari berbagai perbuatan yang rendah serta mudah menghindari dosa-dosa kecil dan besar.
Umar bin Khathab r.a juga menuturkan, bahwasanya Rasulullah saw. telah berkata,”Barangsiapa shalat berjamaah di mesjid selama empat puluh malam dan tidak ketinggalan rakaat pertama shalat isya, Allah memastikan baginya keselamatan dari neraka” (diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Turmudzi)
Termasuk fadhilah shalat berjamaah juga, bahwa orang yang berada di saf terdepan mendapat fadhilah amat besar. Seumpama banyak orang yang mengetahui hal itu tentu mereka akan berebut. Mengenai itu Abu Hurairah r.a menuturkan, bahwasanya Rasulullah saw. pernah menyatakan;
“Sekiranya banyak orang yang mengetahui apa yang terdapat di dalamnida(azan) dan saf pertama, dan tempat itu tidak bisa didapat kecuali melalui undian tentu mereka akan mengundinya. Seumpama mereka mengetahui apa yang terdapat di dalam shalat Dhuhur (berjamaah) tentu mereka akan berlomba-lomba mengamalkannya. Seandainya mereka mengetahui apa yang ada di dalam shalat jamaah Isya dan Shubuh, tentu mereka (berusaha hadir dalam dua shalat jamaah itu) meskipun dengan jalan merangkak.” (diriwayatkan oleh Muslim dalam shahih-nya)
Diantara keistimewaan shalat berjamaah adalah orang yang mendengar azan, tetapi ia tidak mengindahkan datang dan turut serta berjamaah tanpa uzur, orang yang demikian itu shalatnya kurang. Ibnu Abbas r.a menuturkan, bahwasanya Rasulullah saw. telah berkata:
“Orang yang mendengar panggilan(azan) dan tanpa uzur menghalanginya,tidak turut serta berjamaah…” Para sahabat menukas, uzur apa, ya Rasulullah…? Beliau saw. menjawab, “Takut atau sakit… (orang yang seperti itu) shalat yang dilakukannya tidak diterima.” (H.R Abu Dawud,Ibnu Hibban, dan Ibnu Majah)
Menurut Hadist Ibnu Mas’ud r.a, Rasulullah saw. berkata:
“Jika kalian shalat di rumah kalian (masing-masing) seperti yang dilakukan oleh orang shalat menyendiri di rumahnya, berarti kalian telahMENINGGALKAN SUNNAH Nabi kalian.  Dan jika kalian meninggalkan sunnah Nabi kalian berarti kalian sudah SESAT.” (H.R Muslim dan Abu Dawud)
Keistimewaan lainnya lagi pada shalat berjamaah ialah bahwa Rasulullah saw. mengancam orang yang meninggalkannya akan membakarnya dalam api. Mengenai itu Abu Hurairah r.a menuturkan, bahwa Rasulullah saw. telah menegaskan:
“Aku bertekad hendak menyuruh orang-orangku mengumpulkan onggokan kayu bakar, lalu akan kudatangi suatu kaum yang melakukan shalat (sendiri-sendiri) di rumah masing-masing tanpa uzur, mereka hendak kubakar. “ (H.R Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Turmudzi secara ringkas)
Cukuplah kiranya bagaimana jawaban Rasulullah saw. kepada Ibnu Ummi Maktum, seorang buta. Ia bertanya,” Ya Rasulullah, aku seorang buta dan tempat tinggalku jauh. Lagi pula aku tidak mempunyai orang yang menuntunku dan menemaniku. Apakah aku dapat kelonggaran untuk shalat di rumahku?” Rasulullah saw. balik bertanya,”Apakah engkau mendengar panggilan (azan)?” Ibnu Maktum menjawab,”Ya” Rasulullah saw. kemudian berkata,”Aku tidak menemukan kelonggaran bagimu.” Yakni beliau tidak melihat ada alasan untuk memberi kelonggaran kepada Ibnu Maktum. (Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah, dan Al-Hakim)
Wah, kalau direnungkan lagi. Orang seperti Ibnu Maktum yang buta saja tidak diperbolehkan Rasulullah untuk shalat sendirian di rumah namun tetap diharuskan shalat di mesjid. Nah, bagaimana dengan kita??  Yang masih dianugerahi anggota badan yang lengkap. Masih bolehkah tidak shalat berjamaah di mesjid? Astagfirullah, ampuni hamba Ya Allah karena telah meninggalkan sunnah utusanMu dengan jarang berjamaah di mesjid.

Jumat, 09 Maret 2012

Kisah Bahaya Hasud

Al Ghazali dan Kisah Bahaya Hasad


Alkisah, seorang raja memerintah di suatu negeri. Pada suatu hari seseorang datang ke istananya dan menasehati Raja, "Balaslah orang yang berbuat baik karena kebaikan yang ia lakukan kepada Baginda. Tetapi jangan hiraukan orang yang berbuat dengki pada Baginda, karena kedengkian itu sudah cukup untuk mencelakakan dirinya." Maksud orang itu, hendaknya kita membalas kebaikan orang yang berbuat baik pada kita, namun kita jangan membalas orang yang berbuat dengki dengan kedengkian lagi. Cukup kita biarkan saja.

 

Hadir di istana itu, seorang yang pendengki. Sesaat setelah orang memberi nasehat pergi, ia menghadap raja dan berkata, "Tadi orang itu berbicara padaku, bahwa mulut Baginda bau. Jika Baginda tak percaya, panggillah lagi orang itu esok hari. Jika ia menutup mulutnya, itu pertanda bahwa ia menghindari bau mulut Paduka." Raja tersinggung dan berjanji akan memanggil si pemberi nasehat esok hari.

 

Sebelum orang itu dipanggil, si pendengki menghampirinya terlebih dahulu dan mengundangnya untuk makan bersama. Si pendengki memberi orang itu banyak bawang dan makanan yang berbau tajam, sehingga mulut si penasehat menjadi bau. Keesokan harinya ia dipanggil Raja dan kembali memberikan nasehat yang sama. Raja lalu berkata, "Kemarilah engkau mendekat." Orang yang telah memakan banyak bawang itu lalu mendekati Raja dan menutupi mulutnya sendiri karena khawatir aroma mulutnya akan mengganggu sang Raja.

 

Melihat orang itu menutupi mulutnya, Raja pun berkesimpulan bahwa orang ini sedang bermaksud untuk menghina dirinya. Sang Raja lalu menulis surat dan memberikannya pada orang itu. "Bawalah surat ini kepada salah seorang menteriku," ucap Raja, "Niscaya ia akan memberimu hadiah."

 

Sebetunya surat yang ditulis Raja ini bukanlah surat utuk pemberian hadiah.Raja sangat tersinggung, karena itu ia menulis dalam surat itu, "Hai menteriku, jika engkau bertemu dengan orang yang membawa surat ini, penggallah kepalanya. Kemudian bawalah kepala orang sialan ini ke hadapanku."

 

Pergilah si pemberi nasehat itu dari istana. Di pintu keluar, ia bertemu dengan si pendengki. "Apa yang dilakukan baginda kepadamu?" Pendengki ingin tahu. "Raja menjanjikanku hadiah dari salah seorang menterinya," ujar si pemberi naehat seraya memperlihatkan surat dari Raja. "Kalau begitu biar aku yang membawanya," kata si pendengki.

 

Akhirnya, orang yang pendengki itulah yang celaka dan mendapat hukuman mati.

درر الكلام الحبيب عمر

Kata-kata Hikmah Guru Mulia al-Habib Umar حفظه الله

قَالَ فِى شَأنِ دَعْوَةٍ : اَلْوَاجِبُ أنْ نَكُوْنَ كُلُّنَا دَعَاةً وَ لَيْسَ بِوَاجِبٍ اَنْ نَكُوْنَ قُضَاةً اَوْ مُفْتِيَيْنِ (قُلْ هَذِهِ سَبِيْلِيْ أدْعُوْ اِلَى اللهِ عَلَى بَصِيْرَةٍ أنَا وَ مَنِ اتَّبَعَنِيْ) فَهَلْ نَحْنُ تَبِعْنَاهُ أوْ مَا تَبِعْنَاهُ ؟ فَالدَّعْوَةُ مَعْنَاهَا : نَقْلُ النَّاسَ مِنَ الشَّرِّ اِلَى اْلخَيْرِ وَ مِنَ الْغَفْلَةِ اِلَى الذِّكْرِ وَ مِنَ اْلأدْبَارِ اِلَى اْلإقْبَالِ وَ مِنَ الصِّفَاتِ الذَّمِيْمَةِ اِلَى الصِّفَاتِ الصَّالِحَةِ


Beliau حفظه الله تعالى berkata tentang dakwah: “Yang wajib bagi kita iaitu harus menjadi da’ie dan tidak harus menjadi qadhi atau mufti. (Katakanlah Wahai Muhammad صلى الله عليه وآله وصحبه وسلم inilah jalanku, aku mengajak kepada Allah dengan hujjah yang jelas aku dan pengikutku), apakah kita mengikuti Baginda atau tidak? Arti dakwah adalah memindahkan manusia dari kejelekan menuju kebaikan, dari kelalaian menuju ingat kepada Allah, dan dari keberpalingan kembali menuju kepada Allah, dan dari sifat yang buruk menuju sifat yang baik.

إذَا صَحَّ الْخُرُوْج حَصَلَ بِهِ الْعُرُوْج

Bila benar keluarnya seseorang (di dalam berdakwah), maka ia akan naik ke darjat yang tinggi.

كُلّ وَاحِدٍ قُرْبُهُ فِى الْقِيَامَةِ مِنَ اْلأنْبِيَاءِ عَلَى قَدْرِ إهْتِمَامِهِ بِهَذِهِ الدَّعْوَةِ

Kedekatan seseorang dengan para anbiya` di hari qiamat menurut kadar perhatiannya terhadap dakwah ini.


املأ قَلْبَكَ بِمَحَبَّةِ إخْوَانِكَ يَنْجَبِرْ نُقْصَانُكَ وَ يَرْتَفِعْ عِنْدَ اللهِ شَأنَكَ

Penuhilah hatimu dengan kecintaan terhadap saudaramu nescaya akan menyempurnakan kekuranganmu dan mengangkat derajatmu di sisi Allah.




مَنْ كَانَ سَيَلْقَي فِي الْمَوْتِ الْحَبِيْبَ فَالْمَوْتُ عِيْدًا لَهُ

Barang siapa menjadikan kematiannya sebagai pertemuan dengan sang kekasih (Allah), maka kematian adalah hari raya baginya.


مَنْ لَمْ يُجَالِسْ مُفْلِحُ كَيْفَ يُفْلِحُ وَ مَنْ جَالَسَ مُفْلِحَ كَيْفَ لاَ يُفْلِحُ

Barangsiapa yang tidak mahu duduk dengan orang beruntung, bagaimana mungkin ia akan beruntung dan barangsiapa yang duduk dengan orang beruntung bagaimana mungkin ia tidak akan beruntung.

الإنْطِوَاءُ فِى الشَّيْخِ مُقَدِّمَةٌ لِلْلإنْطِوَاءِ فِى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ وَ اْلإنْطِوَاءُ فِى الرَّسُوْلِ مُقَدِّمَةٌ لِلْفَنَاءِ فِى اللهِ

Menyatunya seorang murid dengan gurunya merupakan permulaan di dalam menyatunya dengan Rasulullah صلى الله عليه وآله وصحبه وسلم. Sedangkan menyatunya dengan Rasulullah صلى الله عليه وآله وصحبه وسلم merupakan permulaan untuk fana pada Allah


لَمْ يَزَلِ النَّاسُ فِى كُلِّ وَقْتٍ مَا بَيْنَ صِنْفَيْنِ : صِنْفُ سِيْمَاهُمْ فِي وُجُوْهِهِمْ مِنْ أثَرِ السُّجُوْدِ وَ صِنْفُ سِيْمَاهُمْ فِى وُجُوْهِهِمْ مِنْ أثَرِ الْجُحُوْدِ

Manusia di setiap waktu senantiasa terdiri dari dua golongan:


Golongan yang diwajahnya terdapat tanda-tanda dari bekas sujud; dan

Golongan yang di wajahnya terdapat tanda-tanda dari bekas keingkaran.

إنَّ لِلسُّجُوْدِ حَقِيْقَةً إذَا نَازَلَتْ اَنْوَارُهَا قَلْبَ الْعَبْدِ ظَلَّ الْقَلْبِ سَاجِدًا أبَدًا فَلاَ يَرْفَعُ عَنِ السُّجُوْدِ

Sesungguhnya di dalam sujud terdapat hakikat yang apabila cahayanya turun pada hati seorang hamba, maka hati tersebut akan sujud selama-lamanya dan tidak akan mengangkat dari sujudnya.

أخْرِجْ خَوْفَ الْخَلْقِ مِنْ قَلْبِكَ تَسْتَرِحْ بِخَوْفِ الْخَلْقِ وَ أخْرِجْ رَجَاءَ الْخَلْقِ مِنْ قَلْبِكَ تَسْتَلِذَّ بِرَجَاءِ الْخَلْقِ

Keluarkanlah rasa takut pada makhluk dari hatimu maka engkau akan tenang dengan rasa takut pada Kholiq (pencipta) dan keluarkanlah berharap pada makhluk dari hatimu maka engkau akan merasakan kenikmatan dengan berharap pada Kholiq.


كَثْرَةُ الصَّفَاطِ وَ كَثْرَةُ الْمِزَاحِ عَلاَمَةٌ خُلُوِّ الْقَلْبِ عَنْ تَعْظِيْمِ اللهِ تَعَالَى وَ عَلاَمَةٌ عَنْ ضَعْفِ اْلإيْمَانِ

Banyak bergurau dan bercanda merupakan pertanda sepinya hati dari mengagungkan Allah dan tanda dari dhoifnya iman.


سَبَبٌ مِنْ أسْبَابِ نُزُوْلِ الْبَلاَءِ وَ الْمَصَائِبِ قِلَّةُ الْبُكَائِيْنَ فِى جَوْفِ اللَّيِلِ

Salah satu dari penyebab turunnya bencana dan musibah adalah sedikitnya orang yang menangis di tengah malam.



أهْلُ اْلإتِّصَالِ مَعَ اللهِ اَمَْلَئَ اللهُ قُلُوْبَهُمْ بِالرَّحْمَةِ فِى كُلِّ لَحْظَةٍ

Orang yang selalu mempunyai hubungan dengan Allah, Allah akan memenuhi hatinya dengan rahmat di setiap waktu.

مَا ارْتَقَى اِلَى اْلقِمَّةِ اِلاَّ بْالْهِمَّةِ

Tidak akan naik pada derajat yang tinggi kecuali dengan himmah (cita-cita yang kuat)






مَا أعْجَبَ اْلأرْضُ كُلُّهَا عِبْرَةٌ أظُنُّ لاَ يُوْجَدُ عَلَى ظَهْرِ اْلأرْضِ شِبْرًا اِلاَّ وَ لِلْعَاقِلِ فِيْهِ عِبْرَةٌ اِذَا اعْتُبَرَ

Alangkah anehnya bumi, semuanya adalah pelajaran. Kukira tidak ada sejengkal tanah di muka bumi kecuali di situ ada ibrah (pelajaran) bagi orang yang berakal apabila mahu mempelajarinya.

خَيْرُ النَّفْسِ مُخَالَفَتُهَا وَ شَرُّ النَّفْسِ طَاعَتُهَا

Sebaik-baik nafsu adalah yang dilawan dan seburuk-buruk nafsu adalah yang diikuti.


مِنْ دُوْنِ قَهْرِ النُّفُوْسِ مَا يَصِلُ الإنْسَانُ اِلَى رَبِّهِ قَطٌّ قَطٌّ قَطٌّ وَ اْلقُرْبُ مِنَ اللهِ عَلَى قَدْرِ تَصْفِيَةِ النُّفُوْسِ

Tanpa menahan hawa nafsu maka manusia tidak akan sampai pada Tuhannya sama sekali dan kedekatan manusia terhadap Allah menurut kadar pembersihan jiwanya.

إذَا انْفَتَحَتِ الْقُلُوْبُ حَصَلَ الْمَطْلُوْبَ

Jikalau sebuah hati telah terbuka, maka akan mendapatkan apa yang diinginkan.


مَنْ كَانَ لَهُ بِحَارٌ مِنَ الْعِلْمِ ثُمَّ وَقَعَتْ قِطْرَةٌ مِنَ الْهَوَى لَفَسَدَتْ

Barangsiapa yang mempunyai samudra ilmu kemudian kejatuhan setetes hawanafsu, maka hawa nafsu itu akan merusak samudra tersebut.

Kisah Taubatnya Fudhail bin Iyadl

Al Imam Fudhail bin 'Iyadh rohimahulloh


Beliau dilahirkan di Samarqand dan dibesarkan di Abi Warda, suatu tempat di daerah Khurasan. Tidak ada riwayat yang jelas tentang kapan beliau dilahirkan, hanya saja beliau pernah menyatakan usianya waktu itu telah mencapai 80 tahun, dan tidak ada gambaran yang pasti tentang permulaan kehidupan beliau.

Sebagian riwayat ada yang menyebutkan bahwa dulunya beliau adalah seorang penyamun, kemudian Allah memberikan petunjuk kepada beliau dengan sebab mendengar sebuah ayat dari Kitabullah.



Disebutkan dalam Siyar A’lam An-Nubala dari jalan Al-Fadhl bin Musa, beliau berkata: “Adalah Al-Fudhail bin ‘Iyadh dulunya seorang penyamun yang menghadang orang-orang di daerah antara Abu Warda dan Sirjis. Dan sebab taubat beliau adalah karena beliau pernah terpikat dengan seorang wanita, maka tatkala beliau tengah memanjat tembok guna melaksanakan hasratnya terhadap wanita tersebut, tiba-tiba saja beliau mendengar seseorang membaca ayat:


أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِيْنَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوْبُهُمْ لِذِكْرِ اللهِ وَماَ نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلاَ يَكُوْنُوا كَالَّذِيْنَ أُوْتُوا الْكِتاَبَ مِنْ قَبْلُ فَطاَلَ عَلَيْهِمُ اْلأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوْبُهُمْ وَكَثِيْرٌ مِنْهُمْ فاَسِقُوْنَ

“Belumkah datang waktunya bagi orang –orang yang beriman untuk tunduk hati mereka guna mengingat Allah serta tunduk kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka) dan janganlah mereka seperti orang –orang yang sebelumnya telah turun Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras, dan mayoritas mereka adalah orang-orang yang fasiq.” (QS. Al Hadid: 16)
Maka tatkala mendengarnya beliau langsung berkata: “Tentu saja wahai Rabbku. Sungguh telah tiba saatku (untuk bertaubat).” Maka beliaupun kembali, dan pada malam itu ketika beliau tengah berlindung di balik reruntuhan bangunan, tiba-tiba saja di sana ada sekelompok orang yang sedang lewat. Sebagian mereka berkata: “Kita jalan terus,” dan sebagian yang lain berkata: “Kita jalan terus sampai pagi, karena biasanya Al-Fudhail menghadang kita di jalan ini.” Maka beliaupun berkata: “Kemudian aku merenung dan berkata: ‘Aku menjalani kemaksiatan-kemaksiatan di malam hari dan sebagian dari kaum muslimin di situ ketakutan kepadaku, dan tidaklah Allah menggiringku kepada mereka ini melainkan agar aku berhenti (dari kemaksiatan ini). Ya Allah, sungguh aku telah bertaubat kepada-Mu dan aku jadikan taubatku itu dengan tinggal di Baitul Haram’.”

Sungguh beliau telah menghabiskan satu masa di Kufah, lalu mencatat ilmu dari ulama di negeri itu, seperti Manshur, Al-A’masy, ‘Atha’ bin As-Saaib serta Shafwan bin Salim dan juga dari ulama-ulama lainnya. Kemudian beliau menetap di Makkah. Dan adalah beliau memberi makan dirinya dan keluarganya dari hasil mengurus air di Makkah. Waktu itu beliau memiliki seekor unta yang beliau gunakan untuk mengangkut air dan menjual air tersebut guna memenuhi kebutuhan makanan beliau dan keluarganya.
Beliau tidak mau menerima pemberian-pemberian dan juga hadiah-hadiah dari para raja dan pejabat lainnya, namun beliau pernah menerima pemberian dari Abdullah bin Al-Mubarak.
Dan sebab dari penolakan beliau terhadap pemberian-pemberian para raja diduga karena keraguan beliau terhadap kehalalannya, sedang beliau sangat antusias agar tidak sampai memasuki perut beliau kecuali sesuatu yang halal.

Beliau wafat di Makkah pada bulan Muharram tahun 187 H.

(Diringkas dari Mawa’izh lil Imam Al-Fudhail bin ‘Iyadh, hal